About me

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Instagram: @dewikusumapratiwi Facebook: https://www.facebook.com/dewi.kusumapratiwi

Minggu, 25 Agustus 2019

Debu Semesta

Dulu engkau bukan siapa-siapa
Lalu engkau diberikan-Nya kesempatan untuk belajar
Bersekolah tinggi hingga engkau memiliki gelar
Dan kini engkau diamanahi menjadi pemimpin

Engkau diingatkan, bahwa pemimpin itu adalah tiket VIP
Tiket cepat untuk masuk surga ataupun neraka
Namun mengapa engkau memilih untuk tidak amanah?

Ya, hidup itu pilihan 
Engkau bisa memilih jalan menuju ke mana saja
Namun, Sadarkah engkau dengan pilihan yang engkau buat?

Mereka itu rakyat kecil
Yang harusnya engkau lindungi haknya
Bukan malah engkau ambil untuk kepentingan pribadi
Ingatkah bahwa kekuasan yang engkau duduki sekarang adalah karena mereka
Karena amanah yang mereka percayakan
Bagaimana engkau tega mendustainya?

Lalu ingatkah engkau dengan-Nya?
Yang Maha Kuasa
Yang memiliki segalanya dan bisa melakukan apa saja
Termasuk kepada engkau 

Ingatkah engkau akan kebesaran-Nya?
Dengan segala ciptaan-Nya
Termasuk engkau yang begitu kecil 
Layaknya debu yang beterbangan
Dan tak mampu berbuat apa-apa jika ditiup

Sadarlah bahwa engkau bukan siapa-siapa
Hanyalah debu di alam semesta
Yang tak patut untuk sombong dan menindas yang lain

Rabu, 21 Februari 2018

Di Sekolah Itu Saya Hijrah

Di Sekolah Itu Saya Hijrah

Jangankan memakai jilbab, memakai baju panjang saja saya enggan sekali. Artis-artis di sinetron dan film menjadi kiblat saya dalam berpakaian. Di tahun 2000an, saat itu saya masih ABG, marak sekali artis perempuan yang memakai baju you can see atau rok mini. Menurut saya, gaul ya seperti itu dan yang memakai baju panjang atau malah berhijab itu cupu.

Kebetulan saya sekolah di suatu SMP negeri di Jawa Tengah yang masih jarang sekali ada yang mengenakan hijab. Pelajaran agama Islam di sekolah tersebut pun tidak mengajarkan kalau hijab itu wajib bagi perempuan. Bahkan saat itu yang memakai hijab dipandang aneh, sok alim. Sebagian ada yang dibully tidak pantas karena akhlaknya belum sempurna.

Alhamdulillaah, saat SMA saya diajak ayah pindah ke Jakarta dan bersekolah di salah satu SMA Negeri di Jakarta. Meskipun gedung sekolahnya kecil, namun di sana saya belajar banyak hal. Tidak hanya pelajaran sekolah, namun juga pelajaran agama. Karena kecilnya gedung sekolah saya juga jadi bisa mengenal banyak teman seangkatan dan kakak kelas. 

Awalnya saya mengikuti ekskul dance, majalah sekolah, dan paduan suara. Namun suatu hari ada kakak kelas yang mengajak ekskul Rohis. Sulit sekali mereka mengajak saya bergabung dalam ekskul rohis karena dulu saya sangat antipati dengan rohis dan orang-orang berhijab karena di mata saya mereka itu cupu dan kudet. Namun Allah memang menakdirkan saya tersesat di jalan yang benar. Di semester 2, Rohis sekolah saya mengadakan kegiatan bernama Bimbingan Da'i Remaja. Berat memang namanya dan tentu saya tidak berminat mengikutinya. Namun ada seorang kakak kelas yang begitu intens mendekati saya dan mengajak dengan mengiming-imingi liburan di puncak. Acaranya di puncak selama 5 hari.

Saya pun berpikir, 5 hari nginep di villa, makan 3x sehari, hanya bayar 50.000. Saya pun akhirnya ikut. Di sana saya digembleng oleh kakak-kakak yang baik. Selain dibiasakan untuk tilawah, tadabur Al Quran dan mengikuti kajian, kami "dipaksa" untuk selalu memakai hijab selama 5 hari itu. Setelah selesai acara, ada beberapa teman saya yang awalnya belum memakai hijab kemudian jadi pakai. Sedangkan saya belum. 


Suatu hari saya diajak untuk ikut mentoring. Karena iming-imingnya banyak teman dan tutorial gratis maka saya ikut. Dari sana secara tidak langsung dan tidak sengaja saya belajar agama. Dan suatu hari saat temanya hijab, saya jadi tahu kalau hijab itu wajib bagi muslimah baligh. Lalu saya pun galau dan bertanya sana-sini hingga akhirnya memakai hijab.

Selasa, 20 Februari 2018

Tentang Rasa Part Akhir



Hingga kelulusan pun tiba. Semua siswa SMP Rati lulus. Saat perpisahan, Rati masih sedikit berharap ditemui Adi dan dibalas perasaannya. Namun nihil. Rati yang tadinya bercita-cita masuk SMA favourite di kota Solo, tiba-tiba ditawari ayahnya, “Mau pindah ke Jakarta atau gak? Di dekat tempat tinggal ayahnya ada SMA favourite juga. Tanpa ragu, Rati menerima tawaran ayahnya. Ia berniat move on dari semua kenangannya selama di SMP.

Di SMA, Rati tetap berprestasi. Hingga ia lulus dengan nilai cemerlang lagi dan masuk ke Universitas favourite di Indonesia. Ia mengambil jurusan Kedokteran. Ia sangat bersungguh-sungguh dalam belajar hingga lulus tepat waktu dan melanjutkan studi S2 di luar negeri. Di sana ia bertemu dengan jodohnya. Mahasiswa S2 Teknik Elektro yang kini satu kampus dengannya. Sebelumnya, mahasiswa itu mengambil program studi S1 Teknik Elektro di Institut terbaik di Indonesia. Akhirnya mereka menikah setelah sama-sama wisuda.

Sedangkan Adi, setelah lulus SMP ia berhasil masuk SMA favourite di Solo. Ia memang berjuang keras untuk bisa masuk SMA itu supaya bisa bertemu dengan Rati lagi. Namun ternyata Rati malah pindah ke Jakarta. Setelah lulus SMA, ia mengambil program D3 Akutansi. Kini ia sudah menjadi PNS di Jakarta. Ia masih berharap bisa bertemu dengan Rati lagi saat ia merasa sudah sukses seperti sekarang.

***

Adi dan Rati sama-sama membuka email dari tempat berbeda. Ada satu pesan yang di CC untuk mereka dari teman lamanya, Putri.
"Adi, Rati, aku mau minta maaf kepada kalian. Hari itu, Adi mengajakku ketemuan untuk mencari tahu apakah pesan di radio itu adalah pesan Rati kepada Adi. Sebetulnya Rati pernah cerita kalau memang benar adanya. Namun aku berbohong kepada Adi. Sejak kelas VIII, saat kita bertiga satu kelas, aku mulai suka sama Adi. Selama ini aku iri sama Rati karena dia punya semuanya. Prestasi, perhatian guru-guru dan temen-temen, bahkan Adi. Tapi sampai sekarang aku masih merasa bersalah, harusnya aku fair sama kalian. Maafkan aku."

Adi kesal membaca pesan itu. Ia hanya menutup laptopnya dan pergi ke caffe di lantai bawah kantornya untuk memesan kopi. Tiba-tiba ia mendapatkan notifikasi email lagi melalui Hp-nya. Ada balasan pesan dari Rati.
"Hai Put, apa kabar kamu? Semoga selalu dalam kebaikan dan kemudahan ya. :-) Gak papa kok Put. Aku udah menghapus semua kenangan di radio itu. Aku sekarang udah nikah loh, sama temen almamater S2 ku di Jerman. :-) Doakan kami langgeng ya. Aku bahagia banget sekarang. :-)"

Hati Adi begitu hancur. Ternyata selama ini yang ia inginkan seharusnya bisa ia miliki. Selama ini ia terlalu pengecut, banyak ketakutan, dan kekhawatiran. Gengsi, takut ditolak. Dan ternyata ia juga salah meminta bantuan kepada orang lain. Namun, kini wanita yang diinginkannya telah menghapus kenangan tentangnya dan telah menjadi milik orang lain. Tak ada kesempatan lagi untuknya.

#day29 #30DaysWritingChallenge #30DWjilid11 #fiksi

Sabtu, 17 Februari 2018

Tentang Rasa Part 7



Rasa iri Putri terhadap Rati berubah menjadi dendam. Ia menghubungi Yudha, ketua gengnya Adi. Ia tahu persis tentang geng mereka. Salah satunya, mereka berprinsip bahwa geng adalah nomor satu dan setiap ada yang mau pacaran, cewek itu harus melalui proses seleksi oleh mereka dulu. Bukan orang miskin, harus cantik dan modis, itu syarat dari mereka.
"Yud, tau gak sih? Rati anak IX E itu suka sama Adi loh... Dia tuh cuma anak pembokat. Sekolah aja pake beasiswa."
"Hah? Yang pinter tapi kumel itu? Hahaha. Bilangin, jangan ngarep lah bisa pacaran sama anak geng g40L. Anak g40L cuma boleh pacaran sama orang berkelas aja." Yudha memberikan peringatan keras.
"Mampus kamu Rat..." kata Putri dalam hati puas.

Sejak saat itu, Yudha sering menggiring gengnya pulang lewat gerbang timur untuk sengaja berpapasan dengan Rati. Dan saat berpapasan, Yudha selalu berteriak, "Ngaca' dong ngaca'!"
Awalnya Rati tidak begitu mengerti, ia hanya fokus mencuri pandang wajah Adi yang selama ini ia rindukan. Namun beberapa hari setelahnya, Putri membantu menjelaskan kepada Rati.
"Kayaknya maksudnya kamu deh Rat..."
"Aku?"
"Iya. Kayaknya mereka tahu kalau kamu suka sama Adi."
"Tau dari mana?" Tanya Rati kaget.
"Ya mungkin nebak-nebak dari pesan kamu di radio. Kan kamu sering banget ngirim pesen buat Adi."
"Tapi aku kan gak pernah nyebut nama."
"Tapi kan kamu nyebut daerah rumah kalian, Rat... Mungkin lama-lama ketebak sama mereka."

Sejak itu Rati berhenti mengirim pesan dan salam misterius kepada Adi melalui radio. Ia sadar, kalau selama ini ia tak tahu diri. Perbedaan ekonomi keluarga, gaya hidup, dan teman pergaulan sangat mustahil untuk menyatukan mereka. Rati berusaha keras untuk mundur dan melupakan kenangan lagu kesukaan Adi di radio. Meskipun sangat sulit, ia berusaha fokus untuk menghadapi Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.

Bersambung

#day27 #30DWC #30DWCjilid11

Jumat, 16 Februari 2018

Guru Yang Berpendidikan Tinggi

Wanita yang berpendidikan tinggi tentu memiliki selera yang tinggi. Menjadi wanita karier mungkin adalah salah satu impiannya. Wanita mana yang tidak suka mandiri? Kokoh, tidak bergantung pada orang lain, dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Wanita mana yang tidak suka belanja? Meskipun barang yang dibelanjakannya memang termasuk kebutuhan premier. Namun wanita berpendidikan tinggi bisa menentukan, untuk apa ia berpendidikan tinggi.

Fokus menjadi ibu rumah tangga bagi wanita berpendidikan tinggi adalah pilihan yang penuh dengan resiko. Akan ada suara-suara yang tidak enak didengar dan tidak jarang membuatnya baper. Misalnya, "buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya masuk dapur", atau "lulusan sarjana kok gak kerja", atau "lulusan S2 kok cuma ngurus anak", dan lain sebagainya. Ia juga harus siap menahan setiap keinginannya untuk membeli sesuatu karena ia tidak memiliki penghasilan sendiri. Setiap uang yang diberikan oleh suaminya harus ia atur dengan baik supaya semua kebutuhan keluarga terpenuhi.

Wanita berpendidikan tinggi yang memilih fokus menjadi ibu rumah tangga tentu tahu, bahwa perjuangannya dalam menuntut ilmu selama ini adalah untuk menjadi seorang guru. Di mana ia akan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, bahkan sejak sebelum mereka lahir. Ada amanah berat yang harus ia emban, yaitu melahirkan dan mendidik generasi-generasi yang baik agar kelak dapat membangun bangsa yang baik pula.

Seorang ibu dapat mendidik anaknya sejak ada dalam kandungan. Mengajaknya bicara dan menanamkan hal-hal positif. Lalu ketika lahir, ia bisa mulai memberikan stimulasi untuk memaksimalkan tumbuh kembangnya. Tidak hanya soal tumbuh kembang fisik, namun juga mental. Ia perlu fokus, ketelatenan dan kesabaran.

Layaknya seorang guru, ia membagikan ilmu. Maka seorang guru harus memiliki segala ilmu yang ingin ia bagikan. Ibu yang berpendidikan tinggi tentu memiliki ilmu dan wawasan yang lebih luas. Dengan wawasannya yang luas, ia akan terus berusaha mengupgrade ilmu-ilmunya.


Ibu adalah guru yang harus belajar segala ilmu: parenting, psikologi, pengetahuan, agama, dan lain sebagainya. Ia harus mampu menjawab setiap pertanyaan anak-anaknya dengan bijak. Ia juga harus terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi untuk memberikan keteladanan yang baik. Dengan begitu, ia akan menjadi sosok guru yang baik. Karena generasi terbaik dididik oleh guru terbaik.

#day26 #30dayswritingchallenge #30DWCjilid11 #tulisanbertema #guru

Tentang Rasa Part 6



"Put, bs ktemuan ga hr minggu ni?"
"Adi nge-SMS aku? Ngajakin ketemuan? Wah, mau ngapain dia? Jangan-jangan mau nembak aku..." Teriak Putri di depan layar kaca HP-nya. Ia tampak kaget namun senang. Harapan dan ekspektasinya melambung tinggi. Lalu ia membalas SMS Adi.
"BiSa. Mw kteMu4n d'mna?"
"Di KFC Solo Grand Mall jam 11."
"OK4y, siY4p ^_^"

Hari Minggu pagi pun tiba. Putri tampak semangat sekali memilih baju dan berdandan seolah-olah mau kencan. Tak lupa bedak dan lipstik warna natural kesukaan dipakainya. Juga parfum yang biasa ia kenakan saat menghadiri acara pesta. Putri tidak semanis Rati, namun ia modis. Rambutnya panjang dan lurus karena direbonding. Baju-bajunya branded semua. Ia memamg berasal dari keluarga kaya. Ke mana-mana selalu diantar jemput oleh supir pribadi. Kalau dari segi kehidupan ekonomi keluarga, Adi memang lebih cocok dengan Putri daripada Rati.

"Kamu mau pesen apa? Ntar aku yang bayar..." Kata Adi kepada Putri. Mereka sama-sama on time tiba di tempat janjian. Setelah memesan makanan, Adi membuka percakapan tanpa basa-basi.
"Put, Rati pernah cerita sama kamu gak tentang siapa yang dia suka?"
Putri kaget dan kesal. Dalam benaknya, "Ngapain ngomongin Rati sih?"
"Put..."
"Eh? Iya pernah."
"Siapa Put?"
"Ada lah... Ngefans gitu deh. Kayaknya kamu gak kenal. Anak SMP lain. Yang pasti dia cowok pinter. Juara sekolah juga. Sama lah kayak Rati gitu..." Kata Putri dengan nada meyakinkan.
"Oh, gitu ya? Kirain..." Adi nampak kecewa.
"Kirain kenapa? Kamu ngarep ya Rati suka kamu?"
"Enggak kok..." Adi menyangkal.
"Enggak kok nanya-nanya!"
"Ya aku cuma ngira kalau yang suka kirim-kirim salam di radio itu..." Belum selesai, Putri memotong.
"Kamu kira Rati yang suka ngirim salam buat kamu? Hahaha. Gak mungkin lah... Rati kan mentingin akademik banget. Jadi gak mungkin sempet galau-galauan gitu. Apalagi galauin kamu. Dia mah sukanya sama cowok yang selevel dia pastinya."
Meskipun agak tersinggung, namun Adi mengerti maksud Putri. Adi memang tidak terlalu pintar dalam hal akademik, berbeda dengan Rati. Rati pasti menyukai orang yang sepintar dirinya juga.

Setelah selesai makan, mereka langsung pulang masing-masing. Putri masih menahan amarahnya. Ternyata dia diajak kencan hanya dimanfaatkan saja. Semua demi Rati. Putri menjadi semakin benci dengan Rati. Meskipun ia bisa bersikap seolah-olah teman dekat Rati, sebenarnya selama ini dia iri terhadap Rati karena Rati punya semuanya. Ia pintar dan berprestasi. Semua orang suka dengannya. Cowok-cowok, teman-teman cewek, guru-guru, bahkan ternyata orang yang disukainya selama ini, Adi.

 #day25 #30DWC #30DWCjilid11 #fiksi